Ikan Nila Invasif di Indonesia Tapi Andalan di Zimbabwe
Di Indonesia nama ikan tilapia emang gak terkenal, karena disini orang lebih tau ikan ini dengan nama ikan nila. Sebagai salah satu spesies pendatang, nama ikan nila sangat beken karena suka dijadikan ikan yang dilepas oleh pihak pemerintah ke sungai lokal sebagai upaya penambahan populasi. Disisi lain manfaatnya banyak, tapi bisa juga jadi masalah.
Dua image itulah yang lekat diemban oleh ikan nila karena mereka sering dilibatkan kedalam banyak kasus yang positif dan negatif.
Ikan nila atau tilapia mirip sama Sadio Mane dan Mohammed Salah, karena mereka sama sama warga Afrika yang sukses merantau ke negeri orang dan jadi terkenal disana.
Nama mereka udah terkenal bahkan dijadikan simbol kelahiran di seni Mesir kuno dan terafiliasi sama Hathor, salah satu dewi dalam Mitologi Mesir.
Di Indonesia, nila menjadi salah satu ikan yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi, padahal mereka bukanlah spesies ori asal Indonesia. Pamor mereka bahkan mengalahkan ikan ikan lokal dalam di bidang konsumsi, karena banyak banget olahan nila yang enak enak.
Olahan nila selalu hadir di setiap restoran tradisional atau seafood, baik yang di pinggir jalan sampai di mall dan hotel mewah. Semua punya hidangan nila yang lezat.
Tapi, walau di Indonesia sering dianggap ikan invasif, tapi di Zimbabwe nama ikan nila menjadi salah satu yang paling laku buat dibudidayakan dan di ekspor ke luar. Gimana ceritanya?
Ikan nila, dagingnya enak, laris dijual
Di tahun 1969 ada satu jenis ikan dari luar negeri yang dibawa ke Indonesia untuk keperluan ikan konsumsi. Ikan ini disebar di Danau Tempe, Sulawesi Selatan langsung dari Afrika.
Setelah sukses dengan upaya introduksi yang sukses selama beberapa tahun, akhirnya tahun 1994 didatangkan lagi jenis nila ‘unggul’ dari Filipina dengan nama Genetic Improvement of Farmed Tilapia (GIFT) yang dibawa sama Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT). Pada 1997 dimasukin lagi generasi ke-4 dan ke-6, weh generasi gini jadi mirip JKT48 ya? Haha
Genetik ini selalu dikulik karena buat mencari spesies yang bisa mudah dibudidayakan, cepat gedenya dan dagingnya enak. Makanya upaya untuk kawin silang ini selalu dilakukan, sama kaya yang dilakuin kepada ikan lele.
Jadi banyak juga ikan yang eksis dengan kondisi genetik yang gak sempurna dan itu berpengaruh terhadap kemampuan reproduksi ikannya. Jadi ikan dengan genetik yang terlalu nyampur bakalan susah untuk dijadikan indukan.
Berkat upaya ini, Indonesia sangat sukses menjadi negara yang mengimpor ikan nila ke banyak negara lain di dunia dan udah sukses masuk ke 16 negara. Salah satu spot paling sukses dalam membudidayakan ikan nila adalah Danau Toba.
Hasil dari jualan ikan pendatang kaya nila juga gede banget. Walau datang dari luar negeri, tapi ikan nila bisa menyumbang 78,44 juta dollar AS dari hasil jualan ekspor ke luar negeri. Duit segitu jelas banyak banget.
Prestasi gemilang yang dicatat oleh ikan nila emamg mentereng banget. Tapi dibalik imagenya sebagai ‘anak emas’ akuakultur di negeri ini, ada sisi gelap juga yang menyelimuti ikan keluarga cichlid ini, karena status mereka yang bukan asli Indonesia.
Sisi gelap si ikan nila, akrab tapi asing
Sebagai pendatang, ikan nila dari dulu emang udah akrab sebagai ikan pancing, konsumsi, budidaya dan ikan peliharaan, rasanya malah banyak yang gak tahu kalo ikan ini bukan asli Indonesia, karena penyebarannya yang udah luas dan dianggap sebagai ikan lokal.
Karena udah teramat dekat dan akrab sama orang Indonesia, ikan nila udah gak berasa kaya ikan asing. Tapi hal itu justru membuat sentimen baru dan presepsi soal apakah aman melepas mereka ke sungai lokal?
Ikan nila sampai saat ini menjadi ikan yang paling banyak dipilih sebagai ikan tebar benih di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Biasanya acara kaya gini diadakan oleh pemerintah setempat untuk upaya penambahan populasi ikan di sungai tersebut yang dinilai udah sangat sedikit.
Dimana ada acara seperti ini, pasti ikan yang dilepas adalah ikan nila. Alesan sejatinya juga gak pernah diungkap, karena sebenarnya melepas ikan nila bisa menyebabkan resiko yang lumayan pelik untuk ekosistem lokal. Mungkin masalah edukasi soal ikan invasif emang masih sangat kurang dan juga karena akrabnya ikan nila dimata masyarakat, jadinya banyak yang ngira ikan ini adalah ikan lokal Indonesia.
Aku sendiri pas kecil mengira ikan nila, bawal, dan lele adalah ikan asli Indonesia, padahal mereka dibawa kesini untuk sebuah tujuan. Tapi malahan banyak yang sukses berkembang biak dan akhirnya menyatu dengan ikan lokal.
Sekarang 3 ikan terkenal tersebut kaya pemain naturalisasi yang main di Timnas Indonesia. Karena walau berasal dari negara lain, mereka udah nyaman, akrab dan mengerti soal negeri ini, ditambah masyarakat lokal juga tahu dan dekat dengan mereka. Jadinya pada akhirnya mereka cuma asalnya aja yang dari luar, tapi secara image udah menjadi warga lokal.
Melepas ikan nila bisa berpotensi buruk. Ayo pake analogi pemain naturalisasi kaya tadi. Kalo liga sepakbola Indonesia diisi semua oleh mayoritas pemain naturalisasi, mimpi buruk bakalan mampir ke kehidupan para pesepakbola lokal.
Ikan naturalisasi asal luar negeri juga dilengkapi oleh kemampuan yang lebih dalam hal berkembang biak dan tumbuh kembangnya, karena mereka emang dikembangkan melalui proses selective breeding untuk mendapatkan gen dan spesies unggul yang tepat dijadikan ikan ternak dan konsumsi.
Sedangkan ikan lokal butuh sumbangsih alam karena kebiasaan berkembangbiaknya yang mesti mengikuti kondisi alam habitatnya. Secara value dan keuntungan, menernak ikan lokal kaya gitu jelas gak terlalu bagus buat bisnis, sebaliknya ikan nila dengan kemampuannya berkembangbiak yang baik dan bisa cepet gede, jelas menguntungkan untuk bisnis.
Kalo Liga Indonesia diisi sama semua pemain naturalisasi, pemain lokal akan terpinggirkan dan lama lama mungkin bisa terdepak dari peta kekuatan setiap klub di Indonesia.
Resiko ini adalah kemungkinan dan akibat yang bisa terjadi kepada sebuah ekosistem tempat bibit nila dilepas.
Tapi aku gak mau nyinyir doang, karena ikan nila dikenal sebagai ikan yang sangat lezat untuk dikonsumsi. Gak kaya ikan asian carp dan channa di Amerika Serikat yang dibiarkan menjadi ikan invasif, karena orang sana gak terlalu doyan sama dagingnya. Cara paling baik melawan sebuah invasi dari sebuah makhluk hidup adalah dengan memusnahkannya.
Kalo dalam kasus ikan nila, cara terbaik untuk melawan laju populasi yang mulai parah di sebuah habitat adalah dengan menangkap dan mengonsumsinya. Ikan nila punya harga jual yang layak dan rasanya pun enak. Jadi kemungkinan baik dari meledaknya populasi ikan nila di suatu habitat ya lumayan banyak, jelas yang lebih diuntungkan disini adalah manusia.
Tugas manusia disini untuk menyeimbangkan populasi nila yang berlebih dengan cara ditangkap. Dengan rutin ditangkap, jadinya populasi ikan di habitat tersebut bisa stabil dan eksistensinya gak akan terlalu merugikan spesies-spesies yang hidup disana sebagai warga lokal.
Jadi jelas, ikan nila emang punya potensi untuk menjadi ikan ‘iblis’ yang bisa ngancurin sebuah ekosistem lokal sebagai ikan invasif. Tapi disisi lain, ada sebuah jalan keluar dari masalah ini karena ikan nila dagingnya enak.
Ikan Nila, ikan gacoan warga Zimbabwe
Di benua asalnya, ikan nila atau nama kerennya tilapia sangat digemari dagingnya karena rasanya yang enak. Karena itu banyak warga disana yang punya tambak dan empang berisi ikan nila. Di Negara Zimbabwe, pertumbuhan akukultur emang sangat pesat.
Pemerintah langsung melihat peluang dan berniat mensupport penuh kegiatan ini karena mereka menilai akuakultur Zimbabwe bisa bersaing juga dengan negara lain di dunia. Semakin maju akuakultur disana, akan semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka untuk para warga.
Zimbabwe setiap tahunnya memproduksi 5000 ton ikan nila untuk memenuhi permintaan pasar lokal dan 65% ekspor ke negara negara tetangga kaya Zambia. Produksi ikan nila di Zimbabwe dilakukan mayoritas oleh satu perusahaan aja yang menyumbang hampir 94% dari totalan ekspor mereka per tahun.
Sedangkan untuk memenuhi permintaan pasar lokal, ikan nila lebih banyak di produksi oleh peternakan kecil lokal yang menghasilkan 200 ton ikan dari 600 peternakan yang eksis.
Karena potensi besar ini, pemerintah sana langsung bergerak buat bikin sebuah aliansi bisnis untuk memaksimalkan potensi mereka dalam memproduksi ikan nila kepada dunia. Pemerintah sana dibantu oleh lembaga bernama FISH4ACP untuk mengembangkan potensi akuakultur Zimbabwe yang dari tahun ke tahun progresnya selalu menanjak.
Buktinya mereka berhasil menghasilkan 5000 ton nila pertahun. Bandingkan dengan negara besar kaya Indonesia deh, kita biasa menghasilkan 12 ribu ton, jadi angkanya gak terlalu jauh. Artinya Zimbabwe sangat punya potensi dalam bidang akuakultur nya.
Warga Zimbabwe suka banget sama ikan nila, resep resep andalan juga sering digunakan untuk memasak ikan ini. Gak jauh dengan di Indonesia, disana juga ikan nila sering dimasak dengan bumbu rempah dan bumbu pedas. Selain itu banyak juga yang memasak ikan nila dengan cara di asap, jadi dagingnya akan terasa sangat smoky dan gurih.
Pemancing atau mereka yang nangkep ikan nila disana biasanya memasak ikan secara utuh dengan cara di bakar, biar berasa fresh nya. Buat penyedap dan biar dagingnya ‘moist’ mereka sering ngasih olesan bumbu rempah kari dan bubuk cabe. Sedap banget kan!
Makanan Afrika masih 11/12 dengan Indonesia karena mayoritas menggunakan rempah sebagai bumbu, makanya salah satu produk mie instan terbesar di Indonesia ada yang sukses banget memasarkan produknya di Afrika. Mungkin karena lidah warga sana sama disini masih setipe ya? Yaitu suka makanan yang penuh rasa dan gurih.
Kesimpulan
Ikan nila dengan berbagai imagenya masih terus dan akan menemani dinamika pergerakan dunia akuakultur baik di Indonesia maupun Zimbabwe.
Masih akan ada berita tentang pelepasan ikan nila ke ekosistem lokal, selama edukasi soal ikan ini dan resiko akibat pelepasannya tidak disebarkan kepada masyarakat awam.
Tapi selama ikan nila dagingnya masih enak buat dimakan, maka manfaatkan lah.